Saya selalu tertarik bepergian dengan kereta api. Terdengar kuno sih, tapi justru di sinilah terdapat yang namanya old-fashioned charm. Naik kereta api itu rasanya seperti sedang melakukan perjalanan menembus waktu, menapaki sejarah masa lalu. Bagaimana tidak? Saat masuk ke stasiun, kita disuguhi arsitektur khas kolonial Belanda berusia lebih dari satu abad. Mayoritas bangunan stasiun di Indonesia memang merupakan peninggalan zaman Belanda bergaya art deco, termasuk Stasiun Cimahi di mana beberapa hari yang lalu saya menumpang Argo Parahyangan jurusan Jakarta dari sini. Menurut cerita sih, stasiun ini dibangun sekitar tahun 1886 dan sekarang merupakan salah satu bangunan tua cagar budaya di kota saya. Kemudian, yang membuat seakan kembali ke era tahun empat-puluhan adalah suara peluit yang dibunyikan petugas saat kereta hendak berangkat atau tiba. Kalau soal fasilitas di dalam kereta apinya pasti sudah modern, apalagi di kelas eksekutif penumpang dimanjakan tayangan khusus yang disiapkan PT. KAI melalui layar LCD berukuran 23 inci.
Tapi sensasi sejarah tidak hanya berhenti di stasiun saja, di sepanjang rel yang membentang dari Bandung ke Jakarta banyak sekali tersimpan memori sejarah kolonialisme bahkan zaman purba seperti era Mesolitikum atau apalah itu namanya :p. Menurut teman saya Upay, seorang ancient Sunda history enthusiast, salah satu jembatan kereta api bernama Sasaksaat merupakan jalur sungai Citarum purba sebelum Gunung Sunda meletus. Adapula terowongan Sasaksaat, salah satu terowongan kereta api terpanjang di Indonesia yang dibangun oleh SS (Staatsspoorwagen) antara tahun 1902-1903 (whooila.com). Terowongan ini terletak di jalur antara Purwakarta dan Padalarang yang membelah perbukitan. Ketika memasuki terowongan ini, kita seolah memasuki mesin waktu berukuran raksasa yang segera membawa kita ke dimensi lain.
Selain sensasi napak tilas era kolonial bahkan era zaman batu, kenikmatan travelling dengan kereta api bisa kita rasakan ketika melihat pemandangan alam yang tidak kita temukan jika melalui jalur tol. Misalnya saja, pemandangan perbukitan kapur di daerah Citatah yang jika dilihat dari kereta di mana kita berada terasa sangat menakjubkan. Berikutnya, pemandangan tol Purbaleunyi dengan mobil-mobil yang melaju di atasnya. Semuanya terlihat seperti mobil mainan. Belum lagi pemandangan lain seperti sawah, hutan, dan sungai. Kalau melihat yang begini rasanya Indonesia tuh masih luas, sejuk, asri, makmur, aman, tenteram, damai -- keterusan. Sangat berbeda jika tinggal di kota besar yang terpenjara oleh gedung-gedung tinggi.
Lalu, hal lain dari kereta api yang saya suka adalah penamaan unik dari setiap kereta. Nama-nama ini menambah kesan magis menurut saya. Argo Parahyangan -- sebelumnya Argo Gede, Argo Muria, Argo Bromo, Argo Jati, Argo Dwipangga, Gajayana, Lodaya, Harina dan sederet nama lainnya. Kalian tahu mengapa dinamakan demikian? Setelah banyak membaca literatur di dunia maya, ternyata PT. KAI tidak sembarangan memberi nama kereta-kereta besi tersebut. Jadi penamaan ini ada yang berdasarkan nama gunung, raja, dan hewan legenda. Kereta berawalan frasa Argo diambil dari nama-nama Gunung. Argo sendiri berarti Gunung. Eh kecuali Argo Dwipangga. Setau saya tidak ada gunung Dwipangga. Argo Gede, misalnya. Ini berasal dari Gunung Gede Pangrango yang terletak di Jawa Barat. Kalo Gajayana itu nama raja. Sedangkan yang diambil dari hewan legenda adalah KA Taksaka. Taksaka merupakan naga raksasa. Namun, ternyata ada juga yang merupakan singkatan macam KA Bangunkarta kepanjangan dari Jombang-Madiun-Jakarta.
Alasan yang paling top kenapa memilih kereta sih tidak lain karena alasan safety dan comfort-nya. Perjalanan Bandung-Jakarta selama kurang lebih tiga jam sangat tidak terasa karena di sepanjang jalan kita bisa menikmati pemandangan, membaca majalah, dan yang terpenting kita bisa mondar-mandir kalau pegel. Tidak seperti di mobil atau pesawat yang ruang geraknya sangat terbatas.
Tertarik naik kereta kan? :D
|
Monas terlihat sesaat meninggalkan Gambir |